LAKON - BANYU SUCI PERWITASARI
Untuk menyempurnakan semua ilmu yang telah kamu capai, kamu saya minta untuk mencari air kehidupan "Tirta Pawitra Mahening Suci" pinta Begawan Durna kepada Bratasena.
“Durna bapakku, di mana saya dapat menemukannya?”
“Kamu harus masuk ke dalam Segara Minang Kalbu!” pinta Begawan Durna.
“Dimana Segara Minang Kalbu?” Tanya Bima.
Durna pun menjelaskan jika Segara Minang Kalbu berada di tengah- tengahnya samodra yang terbentang luas.
“Saya akan berangkat!” Bima pun menyanggupi, setelah mohon pamit kepada saudara-saudaranya serta Kunti ibunya, Bima nyemplung kesamudra menuruti perintah Begawan Durna untuk mencari Tirta Pawitra Mahening Suci.
Di dalam samodra badannya terombang-ambing, terhempas serta di- terjang ganasnya gelombang laut lepas, ibarat kapas dipermainkan tiupan angin kencang. Bima pasrah akan nasib dirinya karena kebulatan tekadnya tak menggoyahkan semangatnya.
Betapa kagetnya ketika tiba-tiba di hadapannya, muncul seekor naga besar menghadang. Naga itu berjuluk Kyai Namburnawa, yang langsung me- nyerang Bima. Naga itu menggigit pahanya. Kemudian ekornya terhempas serta merta membelit tubuhnya.
Bima menggeliat, menggelepar, menahan diri dengan sekuat tenaganya untuk melawannya. Bergulat dengan Kyai Namburnawa, spontan badan Werkudara mengikuti gerakan-gerakan Naga itu, agar tidak luluh serta hancur.
Semangatnya untuk mengabdi kepada guru begitu kuat mengalahkan rasa sakit serta rasa lelah. Dikerahkan segala upaya, dikumpulkan seluruh tenaga untuk melepas himpitan sang naga.
Dan berhasil!
Saat itu Bima lepas dari himpitan, kemudian melesat menuju leher sang naga, secepat kilat tangannya meraih kepala naga, dengan Kuku Pancanaka. Raung kesakitan yang memekakkan telinga mengiringi jatuhnya sang naga.
Bratasena tampak begitu lelah, jiwanya seakan melayang, bak kehilang- an kesadarannya. Cukup lama jiwa sang ksatria itu melanglang tak tentu ujung rimbanya. Pada saat tersadar, dan membuka matanya pelan-pelan, kakinya seakan menginjak tanah. Perlahan pandangannya semakin jelas seakan dirinya berdiri pada pulau kecil di tengah lautan luas.
Bima terbuai oleh ketakjuban, dan tiba-tiba semakin dikejutkan dengan munculnya Bocah Bajang yang bersamaan oleh cahaya yang menyilaukan matanya. Cahaya di atas Cahaya. Bocah Bajang itu sungguh kecil, terlalu kecil bila dibandingkan dengan perawakan Bima. Bocah Bajang berjalan perlahan menghampirinya. “Aku sungguh heran sekali, sepertinya sudah saatnya kematian menjemputku. Sama sekali aku tidak merasakan kehidupan lagi” desah Bima. “Akan tetapi ketika kutelusuri pandangan ke badan sampai ke ujung kaki, ternyata aku masih menyentuh bumi,” lanjutnya pelan.
Kemudian ia memandang bocah kecil yang ada di depannya dengan seksama, “Hem, kamu siapa?” tukasnya kemudian. “Mengakulah!”
“Bima, Kamu jangan gampang pergi bila belum mengetahui dengan tepat tempat yang akan kamu tuju. Kamu jangan gampang makan tanpa tahu apa manfaat yang terkandung dalam makanan itu. Jangan sekali-kali berpakaian, bila tidak mengetahui bagaimana cara yang benar dalam berbusana,” sahutnya, “Aku, Dewa Sang Hyang Bathara Dewa Ruci”. Spontan Bima duduk bersimpuh di hadapan Dewa Ruci.
Seumur hidup, Bima tidak pernah “basa krama” kepada siapapun,
namun di hadapan Dewa Ruci Bima duduk dan bertutur halus.
“Apakah ilmu kesempurnaan hidup itu?” tukas Bima.
Ilmu kesempurnaan hidup ini akan diperoleh bila telah sempurna hidup- nya. Hidup sudah tidak tergantung lagi kepada keinginan-keinginan duniawi lagi. Kalau seandainya kehidupan manusia masih menggunakan daya panasnya matahari, daya semilirnya angin, segarnya air dan masih menginjak bumi di bawah langit, manusia belum bisa dibilang sempurna karena yang sempurna itu hanyalah Sang Pencipta.
“Apakah Tirta Pawitra Mahening Suci itu?” lanjut Bima.
Jelas Dewa Ruci, “Tidak akan dapat diperoleh wujud air itu di manapun, termasuk di tempat ini. ‘Tirta Pawitra Mahening Suci’ sebuah perlambang yang harus dimengerti maksudnya.” Dewa Ruci menghela napas, kemudian ia melanjutkan keterangannya, “Tirta” adalah air, kehidupan. Dimana ada air di situ ditemui kehidupan, Pawitra adalah bening. Air bening, tidak hanya dilihat dari wujud air yang bening namun juga harus dilihat dari kegunaannya menghidupi semua makhluk, manusia, hewan dan tumbuhan. Mahening berasal kata dari maha dan ening yang mewujudkan arti ketentraman lahir dan batin. Sedang Suci terhindar dari dosa.”
Bima pun mengangguk. Penjelasan Dewa Ruci dapat dimengerti oleh Bima.
Dewa Ruci pun melanjutkan, “Dalam menjalani hidup ini, mencarilah ke- hidupan yang sempurna yang mampu memberikan ketentraman lahir dan batin, mampu menghindarkan diri dari dosa-dosa yang menyelimuti dirinya untuk menggapai kesucian. Bila ingin mengetahui hidup yang langgeng, tentram terhindar dari kegalauan dan kekecewaan, kalau sudah dapat menemukan ‘alam jati’”.
“Dimanakah Alam Jati itu?” Kejar Bima.
“Tidak bisa dilihat oleh mata, hanya mampu dirasakan melalui cipta,”
sahut Dewa Ruci. Bima kemudian disuruh memasuki gua garba Dewa Ruci.
“Waduuuh Batara …,” Bima terheran-heran, “Badan hamba begitu besar sementara Paduka begitu kecil. Bahkan, kelingking hamba saja tidak akan mampu masuk ke badan paduka.”
“Hai Werkudara, besar mana kamu dengan jagad? Bahkan gunung serta samudrapun mampu saya terima. Percayalah, masuklah kamu melalui telinga kiriku.” Seketika tanpa tahu apa yang terjadi, maka Bima tiba-tiba melewati telinga Dewa Ruci dan akhirnya sampai ke gua garba Sang Dewa.
Saat telah berada di Gua Garba Dewa Ruci, yang ditemui Bima hanyalah perasaan tentram, “Pukulun, hamba sekarang hidup dimana? Hamba melihat tempat yang begitu luas seakan tanpa tepi, begitu terang tanpa bayangan. Terangnya bukan karena cahaya mentari, namun sangat nyata dan indah. Hamba tidak tahu arah kiblat, mana utara-selatan, mana barat- timur. Pun tidak tahu apakah ini di bawah atau di atas, depan atau belakang. Hamba masih dapat melihat dengan baik, dan mendengar, namun kenapa hamba tidak melihat badan hamba sendiri. Yang hamba rasakan hanya kedamaian dan ketentraman semata.”
“Werkudara, kamu sekarang berada di alam yang bernama ‘Loka Baka’, alam kelanggengan, alam jati. Kamu dapat melihat dan mendengar dengan nyata namun tidak mampu melihat dirimu sendiri, itulah yang dinamakan Jagat Lagnyana, berada dalam alam kematian.” Bima sangat bahagia, “Hamba melihat Nyala satu tapi mempunyai cahaya delapan”
“Nyala satu cahaya delapan disebut pancamaya. Panca bukan berarti lima tapi beraneka rupa. Sedangkan delapan cahaya tadi adalah daya kehidupan lahir batin yaitu: cahaya matahari, cahaya bulan, cahaya bintang, cahaya mendung, cahaya bumi, cahaya api, cahaya air, cahaya angin. Cahaya-cahaya itulah yang mampu menghidupi kehidupan alam.”
Bima diam sesaat, merenungi wejangan Dewa Ruci, lalu kemudian,
“Pukulun, hamba melihat empat cahaya, serta empat warna,”
“Empat cahaya terjadi dari hawa empat perkara, merah adalah dorongan hawa nafsu, hitam perlambang kesentausaan namun berwatak gagah dan teguh, kuning dorongan keinginan namun berwatak mata keranjang dan putih merupakan dorongan kesucian. Ketiga watak merah, hitam dan kuning senantiasa mengganggu watak putih yang sendirian.
Kalau tidak mempunyai keteguhan sikap dalam menghadapi godaan ketiga cahaya tadi maka cahaya putih akan ternoda. Namun bila cahaya putih tadi berjalan secara lurus dalam kebenaran, maka ketiga cahaya yang lain akan menyingkir, hilang, musnah dengan sendirinya.”
Lama Bima merenung di Gua Garba Sang Dewa Ruci.
Ia tak mau kembali keluar dari Gua Garba, namun Dewa Ruci pun tak berkenan, dan akhirnya Bima keluar dan kembali ke daratan, yang di situ sudah ditunggu Sang Guru Pendita Durna.
Dalam lakon Banyu Suci Perwita Sari ada beberapa tokoh utama. Tiga diantaranya adalah:
Sumber : Buku Mengenal 30 Tokoh Wayang dalam 10 Lakon
Post a Comment for "LAKON - BANYU SUCI PERWITASARI"
Add your message to every single people do comment here